Jakarta, CNBC Indonesia – Tepat hari ini 54 tahun lalu, sejarah dunia mencatat ada tokoh Muslim dari Libya yang jadi penguasa negara. Dia adalah Muammar Khadafi, yang berkuasa usai menggulingkan kekuasaan Raja Idris I pada 1 September 1969.
Kemunculan Khadafi sebagai Presiden Libya seketika mengagetkan publik. Bukan soal caranya meraih kekuasaan, tetapi soal kegarangan Khadafi terhadap negeri Barat, khususnya Amerika Serikat (AS) dan sekutunya.
Tidak tanggung-tanggung, tak lama setelah dilantik, dia langsung mengusir militer AS dan Inggris dari tanah Libya. Ia juga melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan asing.
Menurut Alison Pargeter dalam Libya: The Rise and Fall of Qaddafi (2012), Khadafi juga ingin menyatukan dunia Arab menjadi satu negara berdaulat lewat gagasan “nasionalisme Arab”. Tentu saja, gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh banyak pemimpin kawasan itu.
Meski begitu, bagi Khadafi, gagasan nasionalisme Arab harus diwujudkan sebagai upaya kemerdekaan Palestina. Dalam riset “Terrorism and Libya Foreign Policy” (1986), Ronald Bruce menyebut kalau Palestina di mata Khadafi adalah bagian integral dari dunia Arab.
Maka, sebagai upaya mewujudkan itu, Khadafi ingin menghancurkan musuh-musuhnya terutama AS dan Israel. Dia menyumbang dana dan persenjataan untuk organisasi kemerdekaan Palestina, yang dianggap berbahaya oleh Barat.
Dia juga mendukung berbagai organisasi perjuangan kemerdekaan di seluruh negara dunia. Belakangan, organisasi yang didukung Khadafi terlibat dalam aksi teror berdarah di negara-negara Barat dan membuat namanya menjadi buruk.
Sudah mengusir militer, anti-Israel, dan terlibat dalam aksi teror membuat AS benar-benar geram. Situs History mencatat sejak 1975 Libya secara resmi dimasukkan sebagai negara pendukung terorisme oleh AS.
Tidak sampai di situ, di tahun 1986, Presiden AS Ronald Reagan saking kesalnya akhirnya mengucap kalau Khadafi adalah “Anjing gila dari Arab”. Dia menyampaikan ini beberapa hari usai terjadi pengeboman di Berlin yang didalangi oleh Khadafi.
“Kita tahu bahwa anjing gila Timur Tengah (Khadafi) ini mempunyai tujuan revolusi dunia, revolusi fundamentalis Muslim, yang ditargetkan pada banyak rekan Arabnya,” kata Reagan, dikutip dari NPR (16/1/2024).
Julukan ini lantas diproduksi media-media barat. sehingga membentuk pandangan publik bahwa kelakuan Khadafi tak dapat ditolerir.
Diktator dan Korupsi
Meski garang terhadap negara Barat, kondisi internal Libya di era Khadafi sangat carut-marut.
New York Times menyebut selama Khadafi berkuasa (1970-2011) Libya terbawa ke pusaran otoritarianisme. Tidak ada pula kebebasan demokrasi di sana.
Selain itu, Khadafi juga diketahui memasukkan keluarga dan rekan politik ke operasional BUMN. Tujuannya supaya dia bisa mendapat aliran dana dari keuntungan perusahaan.
Dari adanya aliran dana ke kantong pribadinya, Khadafi lantas hidup bermewah-mewahan. Dia diketahui kerap membeli properti mahal di luar negeri dan mengadakan pesta super mewah.
Bahkan, dari temuan Forbes, ia dinobatkan sebagai “pria US$ 200 miliar” atau Rp 3.000 triliun. Dengan harta segitu, media AS tersebut menobatkannya sebagai salah satu pemimpin dunia terkaya setelah Raja Arab Saudi, Raja Thailand, dan Sultan Brunei Darussalam.
Semua tindakan tidak terpuji itu berbanding terbalik dengan kondisi di akar rumput. Laporan BBC menyebut selama Khadafi berkuasa banyak warga yang berada di garis kemiskinan.
Sampai akhirnya, kekuasaan Khadafi pun berakhir pada 2011 silam. Gelombang Arab Spring yang menuntut perubahan dan kedatangan militer AS bersama NATO sukses menggoyahkan kursi kekuasaan “Si Anjing Gila dari Arab”.
Khadafi lengser dan tak lama kemudian tewas pada 20 Oktober 2011. Sayang, setelah kepemimpinan Khadafi, kondisi Libya tidak kunjung baik.
Demokrasi yang dibawa AS hanya angin lalu. Sementara, harta-harta Khadafi yang konon Rp 3.000 triliun juga entah tak jelas kemana. https://makanapasaja.com/